Lir Ilir Lir Ilir


Setiap malam dalam perenunganku, selalu bergeming dalam benakku. Lonceng hatiku bergetar saat Sang Kekal menyapu lirih kediaman batinku. Saat pikiranku terbagi ke dalam kepingan perjuangan hari-hariku. Dimana mereka?kalian?atau siapapun yang mengaku sebagai sahabatku. Sebuah ledakan siap membakar setiap emosiku, kenangan mengembalikan amarahku, dan saat ini ekpresi eksistensi penyesalanku tak mungkin tertahan. Nyatanya, ketika saat ini datang, ketika malam hanya milikku dan milikMu, semua menjadi abstrak, semua menjadi ilusi. Sahabat menghilang, orang terkasih pun raib.

Bukannya aku tidak realistis, aku beri tau inilah realistis. Di saat kesendirian menghampiri, di saat rasa takut datang, di saat keluhan-keluhan itu memenuhi hatimu, di saat kau membutuhkan uluran keajaiban, di saat tubuhmu terbujur dan hanya langit-langit yang kau pandangi.

Pernahkah kau ingin berteriak? tapi tak mampu. Karena kau takut teriakanmu memekakan telinga orang-orang yang kau sayang.
Pernahkah kau ingin menangis? tapi tak mampu. Karena kau takut membuat seseorang yang akan meminjamkan bahunya ikut bersedih.
Pernahkah kau ingin mengeluh? tapi tak mampu. Karena takut keluhanmu akan menjadi sebuah kenyataan.
Namun, pernahkah kau berpikir mereka tak peduli? karena mereka tak pernah ikut merasakan apa yang kau rasakan.
Hahaha...teoritis tapi tidak realistis.

Badanku, ia yang menopangku kemanapun aku berpetualang, ia pula yang membawaku memejamkan mataku kembali pada realistis. Ketika ia mulai mengeluh dan bilang berhenti, rasanya aku tidak ingin berhenti, aku ingin terus berjalan, berlari, menari, tapi ia sampai pada limitnya. Kasihan. Akhirnya, aku pun merintih karena kesalahanku sendiri. Akhirnya aku berteriak karena egoku sendiri. Akhirnya aku menangis karena rasa sakit yang kubuat sendiri. Akhirnya aku mengeluh tanpa seorang pun yang dapat merasa hal yang sama seperti aku. Dan akhirnya aku tau, semua yang kurasakan hanya milikku sendiri bukan siapa pun. Hidup dan mati untukku.

Lalu aku berkata, aku lelah Tuhan! tapi aku ingin tau lagi, lagi, lagi dan lagi. Dan harapan datang, itulah rancangan masa depanku, agar badanku tidak terus menopangku, agar aku tidak berteriak lagi, agar aku tidak menangis lagi, agar aku tidak mengeluh lagi. Dan sebuah kesadaran besar bahwa aku membutuhkan seseorang untuk semua harapan-harapan besarku. Bukan Tuhan tidak mengizinkan kita membagi cinta pada seseorang tapi ini sebuah rancangan kawan dan Ia sangat mengerti apa yang kita inginkan.

Maka timbullah makna cinta, cinta kepada Sahabat, kekasih, orang tua, bahkan diri sendiri. Kata cinta mendeskripsikan sebuah luapan kebahagiaan. Penyair ulung mengungkap semua rasa cinta dari A sampai Z. Tapi apakah mereka mengajarkan makna cinta dari 0 sampai 9? Kita kadang tak bisa mengukur mana yang lebih besar ukuran cinta kita kepada sesuatu dibandingkan dengan sesuatu lainnya. Hari ini bilang, Cintaku setinggi langit padamu sayang!! tapi besok?

Kembali lah lagi kita pada sebuah abstrak yang seolah realistis. Itulah hidup kawan, eling.

Lir ilir, Lir ilir
tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo
tak sengguh temanten anyar

cah angon, cah angon
penekno blimbing kuwi
lunyu-lunyu peneen kanggo mbasuh dododiro,dododiro

dododiro,dododiro
kumitir bedah ing pinggir
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore

mumpung pandang rembulane
mumpung jembar kalangane
yo surako surak hiyo

Sampai akhirnya kita benar-benar berjalan pada jalan kesendirian dan melupakan semua rasa sakit. Rumah terakhir dari namaku saat ini dan kenanganku untuk kita semua.

Leave a Reply