Surat dari Eva

Ini surat yang sempat lama tersimpan dalam dompet. 
Namanya Eva.
Sore itu, setiap hari Kamis kedatangan saya untuk belajar mengajari adik-adik di sebuah desa yang rutin saya jambangi.
Bicara soal cita-cita dan mimpi memang tak pernah ada habisnya untuk saya. Idealis. Keyakinan lebih tepatnya. Memang tidak mudah dipercayai untuk bertahan dengan semua hal itu.
Memang tak ada ide khusus yang disiapkan hari itu untuk bertemu dengan adik-adik, selain meladeni pertanyaan-pertanyaan mereka tentang matematika dan seputar pelajaran sekolah.
Perlu saya ingat, bahwa mereka yang membawa saya pertama kali terjun ke dunia ini, dunia anak-anak, dunia tanya-jawab, dunia belajar, bagi mereka maupun saya. Sudah sepantasnya saya berterima kasih.

*** 

Eva, tidak pernah puas dengan satu pelajaran. Mereka bercampur jadi satu, SMP, SD dan tingkatnya pun berbeda. Tidak ada sesiapa lagi yang bisa membantu. Membuat saya sempat kewalahan. 
Globalisasi pun bukan hanya terjadi di sana sini. Tapi memang di sini juga. Saya bicara dan menjawab apa pun yang mereka ingin tau, tidak bisa disetarakan.
Jika bosan, mereka yang pilih topik lainnya. Dan akhirnya beginiliah jadinya dengan Eva.

*** 

Seusai belajar tentang mata pelajaran favorit mereka yang masih SD tentang penjumlahan dan pengurangan
-saya tidak sebut Matematika-
karena mereka paling suka itu!!! titik!!
Eva pun diam dan mengawasi teman-temannya yang lain, yang kurang cepat darinya. Dia bengong, dan bertanya dengan saya untuk meminta soal lagi. Tanda dia sudah mulai bosan menunggu teman-temannya.
Kalau disuruh menulis atau belajar yang namanya Bahasa Indonesia, adik-adik terlihat melengos.
Baik!
Eva, coba kamu buat surat untuk kakak ya! Antusias di wajah Eva pun terlihat malu-malu.
Surat kumaha atuh? dengan logat Sunda kasarnya yang kental.
Ceritain cita-cita Eva sepenuh hati untuk kakak.
Hmmm....dia lanjut dengan berpikir, tapi tak pernah mau bilang tidak bisa. Kecuali jika dia tidak suka, baru bilang tidak bisa.
Hmmm...lanjutnya, aku buat puisi aja ya kak! Puisi tentang cita-cita.
Wuih! dalam hati saya, tak ambil pusing, bagaimana pun bentuknya nanti, dia mau berkreasi.
Dan saat selesai, saat saya akan membubarkan kelas sebelum doa sore dimulai.
Tadaaaaaa.....
This is it.....




Regards

ailupika
saya simpan di dompet, saat semangat menyurut dan mereka boosternya!

Leave a Reply