Rindu Djakarta Tempo Doeloe



Malam kemarin niat saya untuk datang ke sebuah festival, hmm.. sebut saja Jejepangan itu Hellofest 8. Mengalami perubahan haluan. Hehe. Sore itu, saya dan sepupu yang notabene bawa temannya yang punya six sense itu membuat kami melancong lebih jauh dari rencana awal. Mungkin ini sebuah kritikan juga untuk crew hellofest untuk menggelar acara sebesar ini di outdoor saja supaya ga bejubel kaya kemaren. Niat mau hunting foto pun batal. Melihat kondisi yang membuat kami bertiga sesak napas. Kami memutuskan untuk cabut dari hellofest dan kembali malamnya. Dan kami melanjutkan perjalanan kami ke daerah Sabang.Sabang 16 Coffee Shop.
Di sini kami memulai ocehan ngawur sampai terus kami kelelahan pulan di dalam bis kota. Yak! ceritanya begini.

Selepas dari Balai Kartini di mana Hellofest diselenggarakan, kami cabut ke daerah Sabang. Awalnya saya pikir itu tempat tongkrongan yang ramai orang. Maklum malam minggu pasti ramai. Ingat kuliner yang seru-seru di sana berhubung sempat terpikir gagal ditraktir Okonomiyaki sama Indri..Huaaa!! ya semoga terbayar. Hehe. Kurang lebih setengah jam kami sampai di daerah Sabang dengan bermodal busway. Kami turun di depan kantor Ayah saya ternyata lalu jalan lagi kira-kira 1 km. Bhahahahah..benar-benar sehat hari kami kemarin.

Yak! sampai! Oooo ternyata bukan tempat tongkrongan yang saya bayangkan, tapi sebuah coffee shop bernuansa Tempo Doeloe. Oke. Saya suka nuansa yang agak remang dan vintage. Menu pun kami pesan. "Teh tarik!! memang andalannya coffee shop itu" kata sepupu yang cukup sering datang ke sana.

Panjang kami berkicau dan membuat ribut suasana di sana padahal saya baru kenal si paranormal bernama Catur itu. Haha. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak kembali ke Hellofest dan memilih luntang-lantung di daerah Thamrin. "Nanti ya kita jalan habis magrib" kata mereka menyarankan. "Oke" jawab saya.

Selepas magrib, kami mulai menelusuri jalan. Masuk Mall 1 ke Mall lainnya. "Jangan mall ah! lieur gue ke mall" sambar saya. "Iya nih, gue juga abis apaan yak di sini?" kata kak Catur. "Di belakang EX kayaknya ada lampion-lampion gitu deh, hunting foto di sana aja nyok!" saut sepupu saya. Kami pun tertarik dan agak berpikir juga sih. Okelah kami meluncur ke sana, ya pastinya jalan kaki. Hehe. Maklum yang jalan sama saya semalam petualang semua. Kira-kira 500 meter, naik turun tangga penyeberangan, dan kami sampai di EX. EX itu mall di daerah Thamrin sana lah. Setelah disadari koq kita lupa tujuan kita ke sana buat liat lampion ya. Hmm. malah muter-muter mall gak jelas.

Nah pembicaraan berat kami dimulai dari sini. Luntang-lantung jalan sana sini, yang kami lihat cuma cina. Hadeh. Cina modis dengan rambut super lurus dipotong segi, kalo digerai ke belakang bentuknya sampe segitiga gt. Pasti tau lah. Dengan palm shoes dan rok mini. Kulit putih tanpa pigmen. Hadeh. "Yaelah, pusing gue ke sini, ngeliat orang gayanya sama semua" saut saya. "Ember" mereka menyaut dan dari situ mulai panas. Hehe. "Waahh rasis lo!!" kata kak Catur.

"Bukan rasis kak! kita ini di Indonesia atau di Korea atau di Cina ya? jadi kayak gak punya identitas diri" protes saya.

"Bener-bener banget. Gue juga mikir gitu sih! Toss!" sambung kak Catur.

"Pake kebaya aja" kata sepupu saya.
Kami pun mulai sedikit tutup mulut karena di sekitar kami adalah mereka. Huff!! Mungkin terdengar iri ya, karena mereka punya kulit yang mulus, suerrrrr!! saya cuma miris melihat kondisi bangsa. Idealis saya mungkin memang kelewatan. Mereka sebut nasionalisme, nyatanya gak ada sama sekali. Cuma fashion, euforia, dan penjajahan yang saya lihat. Lirik sana sini cuma barang-barang yang bisa dibeli serauk di pasar baru ini mulai dari 500ribu. Suerrr gak kuat di sana lama-lama. Kami pun memutuskan untuk keluar dari mall. Agak norak ya klo lo semua baca ini. Haha.. Akhirnya kami memutuskan untuk karaoke dan bicara soal kaum gay di Sarinah sambil makan kentang goreng. Malam itu rasanya kami seperti akan menulis sekuel buku Jakarta Undecover. Hmm..

Kemana suasana Jakarta yang bersahabat? yang hangat penuh dengan orang-orang betawi dengan nada bicara yang nyablak? Mereka tersingkir..tidak tidak..alias terjajah. Kenapa Jakarta jadi gak nyaman begini? gak nyaman nyari duit? maka itu saya putuskan untuk jadi seorang freelancer, karena jamannya sudah beda.

Haduh koq cerita saya jadi gak to the point gini ya? Lain kali ya..saya perhalus dulu kata-katanya, karena sekarang masih emosi. Jadi gak ada yang sakit hati.. Hahaha..

Regards,

ailupika
Waaaa!! Rindu keramahan Jakarta tempo doeloe. Bahkan kafe yang menyajikan nuansa tempo doeloe tidak seramah tempo doeloe.

Leave a Reply