Blur


Ini masih tentang sesuatu yang entah saya sebut apa. Masih soal anak-anak dan pendidikan yang selalu menyerempet pikiran saya. Suatu hari saya berpikir, saya berharap pikiran ini tidak benar-benar membuat saya menjauhi anak-anak dan pendidikan yang sedang saya nikmati saat ini.

Semua anak itu sama, sama dalam arti, masa depan mereka bergantung pada semua yang ada di lingkungan mereka. Terutama orang tua. Dulu, saat saya belum bergabung dengan rumah singgah dan mengenal mereka lebih dekat. Saya merasa kasihan melihat anak-anak di pinggiran jalan, memegang ukulele, membawa wadah untuk receh, menggendong adik kecilnya yang lebih cocok dibilang monyet karena mereka membawanya tanpa hati-hati. Miris melihatnya. Saat berada di jalanan mereka begitu memelas dan sampai sekarang pun saya masih miris.

Sejak kenal dan mengamati mereka di rumah singgah, saya berpikir sebenarnya mereka tidak ada bedanya dengan anak lainnya. Mereka butuh perhatian sangat butuh malahan, mereka punya mimpi dan cita-cita sekalipun belum tersadari, mereka punya kenakalan karena jiwa penasaran yang menggebu, dan mereka punya itu semua dalam porsi yang lebih dari anak-anak terdidik lainnya. Yang tidak mereka punya mungkin adalah orang tua yang memahami mereka. Saya yakin, setiap orang tua bilang selalu mencoba memahami anak-anak mereka. Tapi sayangnya, kalian punya porsi yang jauh lebih rendah dari anak-anak kalian akan kesadaran itu.

Entahlah, apa yang saya harus sampaikan. Semua terasa mengambang, dan ini membuat semangat saya untuk mereka menjadi sedikit pudar. Melihat mereka ada di samping saya dengan wajah yang asli, tanpa ukulele dan wadah receh membuat saya melihat sisi lain dari dunia. Bahwa dunia ini keras, untuk orang-orang yang tidak mau punya mimpi.

Selanjutnya, saat saya sudah menemukan ambang ini, ambang di mana saya bertanya-tanya akan hal ini. Baru akan saya ceritakan lagi.


Regards,

ailupika
tolong sadari akar budaya ini, para orang tua!!

Leave a Reply