Sejak kecil, selalu kita diajarkan oleh orang tua. Sebuah petuah yang tak luput dari mayoritas orang tua di dunia. Hem,, mungkin di Indonesia yang jelas sekali nampak. Karena sehari-hari saya hidup di Indonesia.
"Nak ayo belajar yang rajin"
Setiap malam selalu mengingatkan tentang tugas sekolah yang dibawa pulang alias PR.
"Ayo sudah mengerjakan PR belum?"
Kalau mereka jengkel karena ulah kita yang ingin sekali bebas dari comal comel yang selalu melintasi kedua daun telinga kita setiap harinya alias main seharian, intonasi petuah mereka mulai berubah dan naik menjadi tidak enak didengar.
"Kamu ini main terus, ayo belajar, nanti nilai kamu jeblok!!"
Jujur saja saya jadi jengah dan hal itu juga jadi tertular kepada saya saat mengajari adik saya. Itu tidak salah, hanya saja belum benar. Saya sadar itu. Kalian juga kan?
Namun tanpa sadar kita jadi terbiasa. Terlalu terbiasa. Hingga ke anak cucu, entah dari kakek nenek yang mana.
Ini semua trauma!
Ya trauma jaman penjajahan dulu. Takut tidak bisa makan, karena biasanya yang bisa makan adalah orang-orang yang punya uang, yang bisa membeli beras meskipun nasinya hanya nasi aking. Takut tidak punya uang dan akhirnya tidak bisa makan, karena yang punya uang pasti orang-orang yang dihargai oleh penjajah. Kalau mereka tidak pintar bagaimana bisa dikenal penjajah untuk dijadikan kerbau?? Takut tidak pintar akhirnya kembali mereka menjadi kerbau, mereka sekolah di tempat penjajah, tanpa mereka sadari pikiran sedang mulai terjajah rasa takut. Kalau ini.. kalau itu.. kalau begini nanti.. kalau begitu nanti.. kalau kalau kalau terus...sudah lah pokoknya harus bisa sekolah, pintar, lalu dihargai, bisa punya uang banyak, keluarga bisa makan tenang. Tanya sekeliling kita, akan didapati mayoritas berpikir seperti itu. Rasional tertutup akan tipuan-tipuan pikiran yang menjadikannya seolah-olah. Jalan lain memang masih banyak, dan budaya ini merambah semakin jauh. Ayo temukan!!
Kita tidak ingat, bahwa itulah ujian di sekolah kita, bukan sekolah penjajah, bukan sekolah makhluk mana pun, ini sekolah kita, kehidupan ini sekolah sejak lahir sampai nanti mati. Sekolah yang hanya menggunakan insting hewan dan logika berpikir. Ujian yang mengandalkan entah apa namanya, saya hanya tau sesuatu yang diatur oleh chip manusia, Limbik. Pengolah yang luar biasa sangat. Namun tidak mudah dimengerti. Bisa gila kalau membicarakan semuanya.
Jika kalian bangga sejak kecil bisa bersekolah di sekolah negeri, sekolah favorit, lalu masuk universitas dengan akreditasi super, jujur saya menyesal. Saya menyesal mengapa saya tidak mencoba melakukan hal yang begitu saya inginkan. Mengapa diri saya dulu hanya sebatas itu? Namun penyesalan juga hanya kata-kata cengeng kan. Seseorang bilang pada saya, "masa lalu sudah tidak bisa diapa-apakan, tapi mulai dari detik ini dan masa depan mari kita rancang, yang sudah ya sudah sekarang bagaimana caranya agar tetap tersadar??".
Tak perlu sombong akan semua itu, Universitas ini jauh lebih luas dari UI, IPB, Harvard University, Oxford, atau sekolah mana pun. Ya inilah Universitas yang kita tau namun sangat jarang kita sadari. Universitas Alam Semesta (UNAS). Begitu kami menyebutnya.
Suatu sore, saya berjalan melewati trotoar dengan lalu lalang orang selepas pulang bekerja. Sesuatu mendorong saya untuk memperhatikan mereka, berbeda style, gerak gerik, mimik muka, gesture. Ada yang terlihat dia punya jabatan tinggi, ada pula yang terlihat lesu karena lelah, terbahak dengan teman sebayanya dengan memamerkan style mereka, bereuforia karena masalah perasaan atau apa lah yang lainnya. Itu yang saya tangkap. Lalu terlintas, saya memang belum jadi apa apa ketimbang mereka. Mereka sudah bisa terbahak tapi saya belum, mereka sudah bisa pegang gadget super canggih tapi saya belum, mereka sudah bisa punya jabatan dan menciptakan jaringan kenal dengan banyak orang tapi saya belum. Ini Universitas yang sebenarnya, ya, bagaimana saya menyaingi mereka?? saya mulai khawatir saat itu. Universitas ini terlalu besar, siapa yang menilai kami?? Terlalu banyak jurusan yang tersedia, banyak orang berlomba-lomba mengeruk ilmu di sini, Tuhan, ini jauh lebih besar dari Universitas saya dulu, lalu kenapa saya harus sombong. Seketika saya tertunduk namun dengan berjuta keyakinan dalam hati. Saya bertanya dalam hati, untuk apa itu semua?
"Universitas ini memang sangat luas, saya terdaftar dalam universitas ini sejak dalam kandungan bahkan mungkin jauh sebelum itu, banyak dosen yang saya temui sejak saya lahir, ibu, ayah, mainan saya, musik, hah masih banyak dan banyak mata kuliah yang begitu penting seiring pertumbuhan saya, tapi saya tidak mencatat semuanya? arrrghh.. Saya pasti lulus dari universitas ini begitu pula orang lain, tapi belum tentu saya bernilai baik, hmm.. oiya siapa yang nilai ya? nilai yang besar bisa didapat dari sebesar apa yang kita lakukan untuk orang lain, yaaaa." Itu jawaban saya.
Terlalu banyak hal yang membuat saya senyam senyum dalam pikiran saya malam ini, belum banyak yang bisa saya ceritakan, semoga nanti.
Regards
ailupika
bukan lembaga pendidikan yang salah, tidak ada yang salah, semua itu hanya pilihan dan keputusan ada di tangan pribadi manusia.
pikiran yang seksi :)