"Kodrat?!"


Selintas terbaca berbulir jurnal. Gemuruh riuh di kejauhan ikut menyentak kedua daun di tepian kotak egoku. Logat yang begitu kental namun begitu berkharisma. Seorang ibu berkata pada ibu lainnya.

"Saya tidak pernah setuju dengan emansipasi wanita. Tidak ada itu emansipasi wanita. Sebaiknya memang wanita yang sudah berkeluarga itu tidak bekerja. Sekarang coba liat, banyak laki-laki nganggur karena lahan pekerjaan mereka diambil oleh wanita. Banyak perusahaan prefer wanita menjadi pegawai mereka, karena apa? lebih menarik, atau apalah namanya. Kalau sudah begitu yang disalahkan laki-lakinya, dibilang tidak bisa bekerja lah, pemalas lah, pengangguran lah. Dan peran laki-laki menjadi terbalik dengan wanita."

Binar itu menunjukkan sebuah ketermanguan. Terus saja ucapnya coba mencamkan kata dari bibirnya.

"Bekerja itu baik, bukannya tidak baik. Sekalipun untuk wanita. Bisa membantu keuangan keluarga. Tapi sekiranya kan, saya lebih memilih menjadi wanita yang bekerja di rumah, karena anak-anak bisa diasuh. Tidak kurang perhatian. Bisa kita pantau. Rumah juga rapih. Suami senang toh. Dari dulu memang sudah seharusnya begitu. Meskipun ini zaman modern, tapi peran wanita tidak bisa digantikan. Mungkin ini yang namanya kodrat dari Tuhan."

Celotehnya masih saja menggemparkan, namun mereka hanya mampu diam, karena keyakinan mereka pasti sama dengan Ibu si pengungkap kodrat.



u/ para ibu
setidaknya bisa adil jika memang tak ada jalan lain.
pun aku.

Leave a Reply